Drs. H. Husnan Bey Fananie, MA., pengantar buku ini, lahir di Jakarta tanggal 13 Nopember 1967. Husnan, sapaan akrab beliau, merupakan cucu dari KH. R. Zainuddin Fananie (1905-1967), penulis karya “Pedoman Pendidikan Modern” (1934). Bagi Husnan, pribadi yang murah senyum ini, karya-karya peninggalan mendiang eyangnya merupakan warisan luhur yang tak ternilai harganya. Sayangnya, sebagian besar karya Fananie, salah seorang Trimurti pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, diakuinya tercecer tak diketahui keberadaannya. Beberapa karya ditemukan di Belanda, saat cucu tokoh besar ini, studi magister at The Faculty of Theology and Art in INIS Rijks Universiteit Leiden (1994-1997). Selain buku yang disebutkan di muka, karya KH. Zaenuddin Fananie, yang ada ditangan santri alumni Gontor ini, adalah “Pedoman Penangkis Crisis” (1935) dan “Sendjata Pengandjoer dan Pemimpin Islam” (1937).
Bak mendapat titisan dari Sang Eyang, seorang tokoh pejuang pendidikan, sosial dan pergerakan Islam, Husnan --sosok muda yang pernah menjadi Asisten Pribadi Wakil Presiden Hamzah Haz ini, tampil sebagai pribadi yang unik, cerdas dan baik. Unik, karena ia, lulusan Peserta Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) XLII Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) tahun 2008, memiliki multi talenta di bidang akademis, politik, tabligh dan seni. Disebut cerdas, Husnan, sosok penyayang kedua orang tua dan keluarga ini, dilihat dari kemampuannya, khususnya dalam menguasai bahasa, seperti Arab, Ingris, Belanda dan Urdu. Ia, santri yang sering menjadi duta luar negeri ini, tak diragukan lagi kebaikanya. Di mata berbagai pihak, seperti keluarga, famili, sahabat dan kenalannya, ia diakui sebagai orang yang fasih dalam hal ahlaq dan etika. Sang Eyang, KH. R. Zainuddin Fananie, dalam bukunya Pedoman Pendidikan Modern, menegaskan bahwa “kecerdasan saja tidak cukup tetapi diperlukan kebaikan untuk menyongsong prestasi yang penuh kemuliaan”. Di sinilah, inti sari ajaran Sang Eyang mendapat kulminasinya pada diri Husnan.
Di bidang akademis Husnan, yang penuh dengan seabreg pengalaman ini, baik di dalam maupun luar negeri, telah merampungkan studi di beberapa tempat dan tingkatan, seperti Kuliyatul Mu’alimin al-Islamiyah (KMI) Pondok Modern Darussalam Gontor (1982-1986); Faculty of Education at Institut Pendidikan Darusslam (IPD) Pondok Modern Darussalam Gontor (1986-1988); English Departement at National Institute of Modern Languages (NIML) Qu’aidi Azam Ali Jinnah University, Islamabad Pakistan (1989-1990); History & Islamic Studies at University of The Punjab, Lahore Pakistan (1990-1992); Faculty of Political Science Government College Punjab University Lahore Pakistan (1992-1993); dan terakhir di Nederland with a thesis “Modernism In Islamic Education In Indonesia and India; A Case Studi of Pondok Modern Gontor and Aligarh.” Sebagai sosok yang selalu berhasrat untuk terus menuntut ilmu dan pengetahuan, sosok yang pernah mewakili Indonesia pada “NDI–CALD Workshop 2002, for Political Party Strategies to Combat Corruption”, Bangkok 1, Thailand, pada January 14–16, 2002 dan Bangkok 2, tahun 2003, memiliki prinsip yang tegas, yakni “sepanjang hidup adalah pendidikan” (long life education).
Dalam bidang politik, seorang tokoh muda Islam yang pernah terpilih menjadi President of Young Muslim Association in Europe, Den Haag The Neterlands (1994-1995), mempunyai pandangan yang dinamis, progresif, revolusioner, egaliter, demokratis dan transformatif. Pada dirinya terdapat integralisasi dan interdependensi yang harmonis antara politik dan Islam. Dalam koridor keajegan Islam sebagai way of life, ia melakukan jihad bersama partai yang memperjuangkan kepentingan umat Islam. Ia tercatat sebagai fungsionaris di Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pada saat yang sama, sosok seorang tokoh yang giat dalam berbagai seminar ini, tercatat sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi dan sekaligus sebagai seorang mubaligh yang sering melakukan syiar Islam di berbagai tempat. Dalam kapasitasnya sebagai mubaligh, sosok yang pernah Mewakili Indonesia pada Konferensi International “Networking Democracy: Enhancing The Role of Political Parties”, 22–29 April 2001, di Nederland, kerap memberikan persepsi tentang Islam yang berwajah manusiawi, egaliter, inklusif dan mencerahkan. Baginya, Islam dipahami sebagai agama yang universal (rahmatan lil ‘alamin) dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta perdamaian. Dalam posisinya sebagai fungsionaris partai, ia selalu berusaha memperjungkan posisi politik umat Islam untuk mendapat porsi keadilan yang semestinya. Di beberapa kesempatan kunjungannya ke luar negeri, ia selalu menempatkan diri sebagai wakil umat Islam, seakan tokoh yang satu ini memiliki semangat yang tak habis-habisnya dalam perjungan Islam dan umat. Demikianlah, integralisasi politik dan agama (Islam) serta kecendekiaan dalam diri tokoh ini.
Terlebih dari itu, ia tidak pernah melupakan jati diri sebagai seorang santri. Justru kesantriannya ini yang selalu ia tanamkan dalam jiwa untuk mengiringi segala tindakannya. Di sela-sela aktifitasnya yang super sibuk dengan sejumlah agenda yang amat padat, ia masih menyempatkan diri untuk menjadi ustadz, mengajar ngaji di mushala rumahnya yang asri kepada anak-anak lingkungan tetangga. Hal ini dilakukannya sebagai konsekuensi dan tanggungjawab yang diajarkan di pesantren yang menegaskan, bahwa orang besar bukanlah yang bergelimang harta dan bukan pula jabatan yang tinggi, tetapi mereka yang bermanfaat untuk sekelilingnya dan bersedia mengajar ngaji kepada anak-anak, walaupun di sebuah surau kecil. Teranglah bahwa pada diri tokoh ini tertanam jiwa seorang santri yang tak terelakkan. Pada saat kalangan santri terpojokan oleh isu-isu miring dan stereotipe diskriminatif semisal radikalisme, terorisme, Husnan yang pernah menjadi Ketua Dewan Redaksi “Majalah Al-Ittihaad” (Young Moslem Association in Europe/Persatuan Pemuda Muslim se-Eropa) dari tahun 1993–1997 di Den Haag, Nederland, selalu tampil ke depan untuk memberikan penjelasan yang tepat tentang identitas dan kiprah santri sebagai kader umat. Laiknya santri sejati yang memiliki trah biologis keturunan kiyai besar, ia telah menampilkan ekspresi Islam yang tegas yang tak lepas dari prinsip-prinsip kesantunan. Tak heran bila figur santri yang satu ini, yang kini menjabat sebagai Staf Khusus Menteri pada Kementrian Agama RI., tampak disenangi banyak pihak dan disegani berbagai kalangan.
Dalam pemikiran Islam, Husnan yang pernah ditunjuk sebagai Pembicara pada Kongress PPI se-Eropa pada Bulan Juli 1995 di London–Inggris, memiliki tesis yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tesisnya menegaskan, umat Islam di Indonesia adalah benteng pertahanan terakhir umat Islam di dunia. Secara analitik, ia mengamati bahwa kaum muslimin di pelbagai belahan dunia tengah menghadapi tantangan besar berupa fragmentasi arahan modernisme, materialisme, kosmopolitanisme, hedonisme dan sebagainya. Praktis, gempuran-gempuran yang menglobal itu dapat merusak dan melumpuhkan tatanan umat Islam. Akan tetapi, pada saat yang sama ia memiliki sikap yang optimistik. Ia menegaskan, Islam di Indonesia benar-benar dapat menjadi benteng pertahanan terakhir dunia, sejauh kita memiliki tanggung jawab yang tinggi dalam pengembangan lembaga-lembaga keislaman, khususnya madrasah dan pondok pesantren. Atas dasar itulah, tokoh pemikir Islam progresif ini tak diragukan lagi komitmennya terhadap agenda-agenda penguatan madrasah dan pesantren.
Oleh karena itu, tokoh ini terjun langsung dalam pembelaan terhadap pesantren untuk menentukan langkah-langkah strategis agar tidak jebol oleh hantaman globalisasi yang selalu membawa dampak yang merugikan. Dalam ilustrasinya, ia memberikan gambaran tentang pesantren yang diibaratkan samudra yang luas dengan perahu-perahu yang hancur terbentur batu karang. Atau para santri jadilah batu karang itu sendiri yang terhujam ke dasar samudera yang paling dalam, dan memiliki puncak yang menjulang tinggi menantang matahari, melawan badai dan ombak, menghadang bayu dan topan, tetapi menjadi tempat bercumbunya dan beranak-pinaknya burung-burung laut dan berbagai kehidupan di air serta awan. Demikian motovasi untuk para santri yang kerap dituturkan oleh seorang pengajar di Islamic Training College (KMI) Pondok Modern Gontor, Ponorogo dari tahun 1986-1988, dengan materi Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Speech, Geography, Sejarah Dunia, Filsafat dan Al-Qur'an. Kepada para santri ia kerap mengatakan, “ketika kita terponggok dengan seeokor harimau besar dan lapar yang siap menerkam kita, apa yang harus kita lakukan? Kita harus terkam terlebih dahulu harimau itu sebelum dia menerkam kita. Jadi jangan kita diam ataupun lari dari situasi itu karena kita akan mati konyol. Kalaupun kita mati, maka mati dalam berjuang (syahid), dan jika hidup pun akan hidup terhormat”. Kita harus berprinsip ‘isy kariman au mut syahidan!
Untuk menelisik semangat yang bergolak dalam jiwanya, sejenak kita simak sebuah puisi yang ditulisnya berjudul: “Terbanglah...Rajawaliku!
Kau terbang membentang sayap...membawa harapan dari semua jenismu
Bulu-bulumu sehalus rasaku...
Kuku-kukumu, setajam semangatku...
Paruhmu, pengucap jiwaku...
Tak peduli buih..., tak peduli ombak...
Tak peduli angin..., kau terjang bersama matahari,
Kau bebas bersama sukma dan nalurimu....
Kau bebas melihat darah dan derita di bawahmu.
(Den Haag, 30 September 1993)
Kembali pada perhatiannya terhadap umat. Adalah logis dan bukanlah suatu hal yang muluk-muluk, pada saat tokoh yang pernah mengikuti rombongan kenegaraan Wakil Presiden RI. sebagai Intepreter (penerjemah) ke Negara-negara Timur Tengah, Sudan, Yaman, Saudi Arabia, Abu Dabi sekitar Agustus–September 2003 ini, berbicara seputar pemberdayaan umat, secara spontan ia menunjuk pada program-program penguatan madrasah dan pondok pesantren. Sebuah mega proyek yang telah dan sedang dilakukannya adalah kelanjutan dari perjuangan pergerakan Islam yang digagas secara gigih oleh mendiang Sang Eyang, KH. R. Zainuddin Fananie.
Seperti telah disinggung terdahulu, sosok ini pun amat kental dengan jiwa seni dan berkesenian. Ia suka melukis dan membuat puisi. Untuk mengusir leleh dari sisa menjalankan pekerjaan yang berat, sebagai ekspresi dari jiwa seninya, ia terkadang menyengajakan duduk di depan piano di rumahnya untuk melantunkan beberapa buah lagu bersama putra-putrinya tercinta, Kifah Gibraltar Bey Fananie (11 Tahun) dan Rumi Cahya Nurani Bey (7 Tahun). Demikianlah seputar rekam aktifitas tokoh santri transformatif bernama Husnan Bey Fananie. Seorang calon pemimpin masa depan yang tak bisa dibantahkan! Amin Ya Rabb al-Alamin...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar