Kamis, 18 November 2010

Pengantar Buku Pedoman Pendidikan Modern




PEDOMAN PENDIDIKAN MODERN
SUMBANGSIH UNTUK MEMBENTUK KARAKTER BANGSA

Oleh: Drs. Husnan Bey Fananie, MA.



Cetak ulang buku “Pedoman Pendidikan Modern” karya KH. R. Zainuddin Fananie yang telah pernah diterbitkan pada tahun 1934 ini diharapkan dapat menjadi pencerahan bagi upaya mewujudkan pendidikan karakter di Indonesia. Seperti kita ketahui hal ini tengah gencar-gencarnya digagas oleh para ahli pendidikan kita akhir-akhir ini.
Pembacaan yang integral terhadap karya KH. R. Zainuddin Fananie ini, praktis tidak bisa dilepaskan dari kenyataan sejarah dan konteks situasi zaman pada saat buku ini diterbitkan. Sebab, melepaskannya dari semua itu berarti pula menisbikan sejumlah makna yang terkandung dalam paparan buku yang dicetak ulang setelah 76 tahun ini. Setiap gagasan atau pemikiran selalu mempunyai konteks yang melatarbelakanginya.
Jika ditengok ke belakang, pada tahun 1934 pada saat buku ini terbit, bangsa Indonesia sedang berada dalam tekanan penjajahan oleh kaum kolonial. Terang saja pendidikan di tanah air pada masa itu belumlah menunjukan ciri dan karakternya yang khas, sebagai acuan bagi kemajuan bangsa. Yang ada saat itu berupa model-model pendidikan yang didirikan oleh pemerintahan kolonial. Dan pendidikan kaum muslimin yang kebanyakannya didirikan dalam bentuk pesantren-pesantren tradisional. KH. R. Zainuddin Fananie berkesempatan mendapat pendidikan dari dua model tradisi tadi: “Islam” dan “Barat”.
Hasil pergulatan dengan konteks situasi zaman penjajahan dan persentuhannya dengan sejumlah pandangan tokoh-tokoh populer yang berpengaruh dalam berbagai bidang keahliannya terlahirlah sosok KH. R. Zainuddin Fananie. Beliau mempunyai segudang pengalaman dalam pergerakan dan perjungan umat Islam, revolusi kemerdekaan Indonesia dan pemerintahan nasional. Sebagai ulama dan tokoh aktivis yang produktif, KH. R. Zainuddin Fananie telah melahirkan sejumlah karya. Salah-satunya yang ada di tangan pembaca ini berjudul “Pedoman Pendidikan Modern”, yang membuka kesadaran baru tentang pentingnya pendidikan karakter untuk mewujudkan kemajuan dan ketinggian martabat bangsa dan agama di tanah air.
Di sini akan dipaparkan kerangka konseptual dan dialektika pendidikan karakter KH. R. Zainuddin Fananie, yang sebelumnya akan diketengahkan terlebih dahulu biografi singkat penulis buku ini. 

KH.R. Z.Fananie: Biografi Singkat
KH. R. Zainuddin Fananie lahir di Gontor Ponorogo Jawa Timur pada tanggal 23 Desember 1905. Putera keenam Kiyai Santoso Anom Besari. Silsilah KH. R. Zainuddin Fananie terhubung dengan Kiyai Tegalsari, Khalifah Hasan Besari. Kiyai Khalifah Tegalsari mengambil menantu Kiyai R.M. Sulaiman Djamaluddin, keturunan ke-IV Keraton Cirebon. Kiyai R.M. Sulaiman Djamaluddin mempunyai putera Kiyai Archam Anom Besari. Kiyai Archam Anom Basari mempunyai putera Kiyai R. Santosa Anom Besari yang bertempat tinggal di Ponorogo, Gontor, Jawa Timur. Istri Kiyai R. Santosa Anom Besari, Bu Nyai Santosa Anom Besari, merupakan keturunan Kanjeng Bupati Surodiningrat. Pasangan inilah yang melahirkan KH. R. Zainuddin Fananie.
Riwayat pendidikan KH. R. Z. Fananie, panggilan KH. R. Zainuddin Fananie, mula-mula masuk Sekolah Dasar Ongko Loro Jetis Ponorogo, dan sementara itu mondok  di pondok pesantren Josari Ponorogo, kemudian ke Termas Pacitan, lalu  ke Siwalan Panji Sidoarjo. Dari sekolah  Ongko Loro beliau pindah ke Sekolah Dasar Hollandshe Inlander School (HIS), kemudian melanjutkan ke Kweekschool (Sekalah Guru) di Padang. Sesudah tamat sekolah guru beliau masuk Leider School (Sekolah  Pemimpin) di Palembang. Selain itu,  beliau pernah  belajar pada Pendidikan Jurnalistik dan Tabligh School (Madrasah Muballighin III) di Yogyakarta, dan selesai pada tahun 1930.
KH. R. Z. Fananie mempunyai segudang pengalaman. Beliau pernah menjadi guru  di  HIS sejak 1926 sampai 1932, dan mengajar di School Opziener di Bengkulen sampai tahun 1934. Pada tahun 1929, KH. R. Z. Fananie mendapat tugas di Sumatera, sebagai salah seorang dari tiga konsul Muhammadiyah. KH. R. Z. Fananie bertugas di Sumatra Selatan, sementara dua sahabatnya, Buya Hamka dan Mahfudz Siddik, masing-masing bertugas di Sumatra Utara dan Barat. KH. R. Z. Fananie, tokoh Islam modernis, merupakan konsul pertama ormas ini se-Sumatra Selatan, dan dipilihnya 4 Ulu Kota Palembang sebagai pusat kegiatan.[1] Selain di ormas, KH. R. Z. Fananie, sebagai tokoh muda reformis, juga bergabung dengan Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).[2] KH. R. Z. Fananie merupakan salah satu tokoh PSII yang memiliki pengaruh sampai dengan periode Proklamasi Kemerdekaan.[3]
Pada tahun 1942 KH. R. Z. Fananie menjadi Kepala Penasehat Kepolisian Palembang hingga tahun 1943. Setahun kemudian menjabat pimpinan Kantor Keselamatan Rakyat di Palembang. Setelah itu dipilih menjadi Kepala Kantor Tata Usaha Kantor Sju Tjokan. Pada masa detik-detik revolusi, KH. R. Z. Fananie ikut terlibat menentukan formasi kepemimpinan Hookokai di Palembang dalam “Badan Pemerintahan Bangsa Indonesia” (BPBI). Menurut Mestika Zed, tokoh pergerakan KH. R. Z. Fananie merupakan salah satu pemain utama yang mengisi cikal-bakal aparatur pemerintahan Karesidenan Palembang.[4] Pada awal revolusi 1945, KH. R. Z. Fananie sendiri menempati posisi Kepala Bagian Sosial, sedangkan Ny. R. Z. Fananie memegang posisi Bidang Wanita.[5] Di sini,  KH. R. Z. Fananie menempati posisi sebagai wakil atau refresentasi tokoh nasionalis moderat dari kelompok Islam.[6]
KH. R. Z. Fananie ikut andil dalam revolusi Palembang. Masalah transportasi dan komunikasi menjadi kendala utama dalam mensosialisasikan revolusi di pedalaman. Tidak banyak orang kota yang mampu berbicara di depan masa petani. Mereka sulit membangkitkan gairah revolusi apalagi menerangkan soal-soal rumit berkaitan dengan politik kenegaraan. Badan pemerintahan hanya dapat mengandalkan segelitir tokoh nasionalis Islam semisal KH. R. Z. Fananie, yang pada masa sebelumnya banyak terlibat dalam badan propaganda Jepang.[7] H.M. Hasyim R., sekretaris Komite Nasional Indonesia (KNI), dan Kemas Usman Adil, ketua Barisan Pelopor Republik Indonesia, atau Barisan Pemuda Republik Indonesia (BPRI) Pagar Alam, menyebut KH. R. Z. Fananie sebagai salah seorang yang aktif melakukan perjalanan keliling ke daerah pedalaman. KH. R. Z. Fananie menyampaikan pesan dari Palembang di setiap kota kecil yang disinggahi –Prabumulih, Lahat, Tebing Tinggi, dan Lubuk Linggau. Pesan yang disampaikan menyangkut bagaimana mengumpulkan pimpinan-pimpinan BKR (bekas anggota Hookokai),[8] mendirikan BPRI, dan mengibarkan bendera Merah Putih.
Pada Januari 1946 digelar sidang pertama Komite Nasional Indonesia (KNI), yang telah menyandang nama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Keputusan sidang menetapkan KH. R. Z. Fananie sebagai Badan Pekerja Harian (BPH) DPR.[9] Tanggal 8 April 1953 KH. R. Z. Fanan diangkat oleh presiden menjadi anggota "Panitia Negara Perbaikan Makanan". Empat bulan setelah itu tepatnya pada tanggal 1 Agustus 1953 menduduki Kepala Jawatan Bimbingan dan Perbaikan Sosial pada Kementerian Sosial. Masih pada tahun yang sama beliau  menjabat Inspektur Kepala, Kepala Inspeksi Sosial Jawa Barat. Sejak tanggal 19 Januari 1956 mendapat kepercayaan menjadi Kepala Bagian Pendidikan Umum Kementerian Sosial. Pada pertengahan bulan Januari 1959 menjabat Kepala Kabinet Menteri Sosial. Setahun kemudian yaitu pada tanggal 12 Agustus 1957 menjadi Kepala Jawatan Pekerjaan Sosial. Dalam pada itu, KH. R. Z. Fananie tercatat mengikuti Rapat Paripurna III Musyawarah Pembantu Perencanaan Pembangunan Nasional (MUPPENAS), tanggal 29 Juni 1965 di Gedung MPRS Bandung. Terakhir adalah sebagai anggota BPP-MPRS sampai tahun 1967.
Semasa kerja di pulau Andalas (Sumatra), KH. R. Z. Fananie bertemu dengan pasangan hidup beliau, Hj. Rabiah M. (1915-2007). Pada tanggal  21 Juli 1967, KH. R. Z. Fananie meninggal dunia di kediaman beliau di Jakarta, meninggalkan seorang istri dan seorang putera semata wayang, KH. Drs. Rusdi Bey Fananie (Anggota Badan Wakaf Pondok Modern Gontor).
KH. R. Zainuddin Fananie, bersama kakak dan adik kandung beliau, yakni KH. Ahmad Sahal dan KH. Imam Zarkasyi, yang tergabung dalam TRIMURTI (Tiga Serangkai), merintis pendirian Kuliyatul Mu’alimin al-Islamiyah (KMI) Pondok Modern Darussalam Gontor, Jawa Timur, pada tahun 1936. Program yang mula pertama diselenggarakan adalah Tarbiyatul Athfal (TA), pendidikan anak-anak bagi masyarakat Gontor, yang ditangani langsung oleh Pak Sahal (sapaan akrab KH. Ahmad Sahal). Setelah jumlah alumni TA sudah banyak, untuk memenuhi jenjang pendidikan selanjutnya, dibukalah Sullamul Muta’allimin (Tangga Bagi Para Siswa) pada tahun 1932.
KH. R. Z. Fananie memiliki berbagai gagasan tentang pendidikan modern. Gagasan-gagasan itu ditulis sendiri oleh KH. R. Z. Fananie dan dibantu oleh KH. Imam Zarkasyi dalam bentuk buku yang diberi judul “Pedoman Pendidikan Modern”. Buku ini terbit pada tahun 1934 sebelum KMI didirikan pada tahun 1936. Semua orang tentu mafhum yang disebut modern pada saat itu adalah Barat. Dengan kata lain, pendidikan modern berarti pendidikan mengikuti model Barat, yang dalam konteks Indonesia diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda.[10] Sedangkan pesantren-pesantren yang ada umumnya dikenal sebagai sebagai lembaga pendidikan tradisional. [11] KH. R. Z. Fananie memiliki peran besar dalam perubahan model pendidikan dari tradisional (klasik) ke modern. Sebab, beliau langsung merasakan dan mengalami pendidikan model Barat. Perlu ditegaskan di sini bahwa, dalam proses modernisasi di Gontor, peran KH. R. Z. Fananie secara konseptual sangat menonjol setelah penulisan buku yang ada di tangan pembaca ini.[12]
Buku Pedoman Pendidikan Modern ditulis ketika pengarangnya sedang bertugas di Sumatra. KH. R. Fananie mempunyai relasi dengan berbagai golongan, tak terkecuali para ahli pendidikan. Beliau mempunyai hubungan yang sangat baik dengan Mahmud Yunus, yang dapat dipandang sebagai salah seorang pelopor pendidikan Islam modern di Indonesia. Pertemuan ini yang bisa jadi mendorong beliau untuk membekali sang adik, KH. Imam Zarkasyi, dengan pendidikan modern, yaitu dengan menganjurkan sang adik ini belajar di Normal School Padang, di bawah bimbingan Mahmud Yunus. Mengingat buku ini terbit sebelum adanya program KMI, dipastikan ia merupakan kerangka konseptual dari program modernisasi pendidikan di Gontor.[13] Dengan kata lain, KMI merupakan ramuan antara pengalaman dan konsep yang terkandung dalam buku ini.
KH. R. Z. Fananie merupakan ulama produktif yang melahirkan sejumlah karya. Selain “Pedoman Pendidikan Modern” (1934), KH. R. Z. Fananie menerbitkan buku-buku lain, seperti: “Pedoman Penangkis Crisis” (1935); “Sendjata Pengandjoer dan Pemimpin Islam” (1937); “Pengetahuan tentang Karang Mengarang dan Jurnalistik”; “Kesadaran dan Pedoman Suami Istri, Suluh Rakyat Indonesia”; “Ilmu Guru dan Soal Perguruan”; “Kursus Agama Islam”; “Ketinggian Martabat Islam”; “Islam Berhadapan dengan Dunia”; dan “Permenungan antara Islam dan Kristen”.[14]

Kerangka Konseptual Pemikiran KH. R. Z. Fananie
1. Kedudukan Pendidikan
KH. R. Z. Fananie menempatkan posisi pendidikan dalam kedudukan yang amat penting dan sentral di sepanjang masa. KH. R. Z. Fananie berpendapat, pendidikan merupakan tiang bagi kemajuan, bahkan sebagai asas dan basis dari segala langkah-langkah (pekerjaan).[15]
Bangsa-bangsa yang dikatakan maju pada masa ini, sebagaimana dituturkan oleh KH. R. Z. Fananie, berlomba-lomba membikin persediaan untuk masa yang akan datang, dengan bermacam-macam cara (taktik) untuk mencari hasil yang akan menjadi isi peti pengharapan di kemudian hari. Demikian halnya kaum muslimin, bangsa Indonesia khsusnya, yang bersama-sama hidup dengan bangsa-bangsa tersebut dalam satu masa, satu alam, tentu bukan sedikit mempunyai kewajiban-kewajiban sebagai bangsa manusia, dan kewajiban sebagai anggota umat Islam, hamba Allah.
Kewajiban-kewajiban itu ada banyak dan berat, sehingga terasa beratlah sebelum diamalkan atau dikerjakannya. Akan tetapi, semua itu akan dapat dilalui dan dikerjakan dengan langsung sampai berhasil, apabila roh kita telah terdidik sebagaimana mestinya, telah berasas dengan asas yang kokoh, serta penuh dengan keyakinan (keimanan). Semua itu bersandar kepada soal pendidikan.

2. Pengertian Pendidikan
Yang dimaksud dengan pendidikan itu, menurut KH. R. Z. Fananie, bukanlah hanya yang di tangan guru-guru sekolah atau ibu bapak dalam rumah tangga saja: tetapi mengandung “segala yang dapat mempengaruhi kebaikan kepada roh manusia”, semenjak kecil sampai dewasa, sehingga menjadi orang tua sekalipun. Bagi KH. R. Z. Fananie, manusia selalu menerima didikan, asal masih mempunyai roh kesucian (kemanusiaan), atau fikiran yang sehat.

3. Tanggung Jawab Pendidikan
Melihat luasnya pengertian pendidikan dan cakupannya, maka kewajibannya merata ke segala tingkatan umat, tanpa terkecuali. Seperti pendidikan dalam pergaulan rumah tangga, rumah perguruan dan dalam pergaulan masyrakat umum. Dari itu, siapa-siapa yang telah memegang jabatan yang telah ditetapkan oleh masyarakat, berkewajiban mendidik, yang berarti pula memimpin segala pimpinannya, dan menanggung jawab atas segala halnya.[16]
Hal yang perlu digarisbawahi, sebagaimana ditegaskan oleh KH. R. Z. Fananie, Islamlah yang benar-benar hendak mendidik manusia, ke arah pergaulan hidup (maatschappij) yang tinggi lagi adil.

4. Pendidikan Untuk Kemajuan
Bangsa Indonesia, kaum muslimin umumnya telah ingin hendak maju, dalam langkah keduniaan dan keakhiratan, demikian ungkapkan KH. R. Z. Fananie. Arti “maju”, menurut KH. R. Z. Fananie ialah, yang di kemudian lebih baik dari yang terdahulu; anak menjadi lebih baik dari Bapak, dan cucu menjadi lebih berkemajuan dari anak tersebut; dan begitulah seterusnya. Untuk mencapai kemajuan sebagai tersebut, haruslah orang tua mendidik anak-anaknya, supaya menjadi lebih baik dalam segala halnya dari padanya. Sehingga naiklah derajat kemanusiannya.
KH. R. Z. Fananie mengingatkan, kalau sekira yang hidup pada masa ini belum insaf (onbewust), telah menerima saja sebagai keadaan yang sekarang, berartilah kita mudur kebelakang; karena ditinggalkan masa dan bangsa-bangsa lain yang terus maju ini. Dan akan dikutuklah oleh anak cucu dikemudian hari, pun dikutuk oleh Tuhan yang telah menyerahkan amanat pendidikan anak-anak kepada kita.

5. Tujuan Pendidikan
KH. R. Z. Fananie menuturkan, dari antara orang banyak (golongan), ada yang pengertiannya tentang “pendidikan” itu, disamakan dengan “pelajaran”. Artinya, tujuannya hanya hendak mengisikan pelajaran atau pengetahuan semata-mata”.[17] Tujuan yang semacam itu belum dapat dengan terus dikatakan kebenarannya. Karena dengan itu saja, belum tentu dapat dan sampai kepada yang kita ingini yang sebenarnya.
Seumpama  yang dicita-citakan itu (kepandaian), artinya anak yang kita didik itu telah menjadi pandai dan banyak pengetahuan umpamanya. Akan tetapi, tidak ada dan tidak dapat membikin kebaikan terhadap kaum keluarga, sanak familinya, bangsanya, umumnya bagi sesama hidup, malahan anak-anak itu merusak nama baik dari semua itu, merusakkan harta benda orang tuanya, apalagi moralnya sendiri.
KH. R. Z. Fananie mengingatkan, manusia yang pandai saja itu, apabila berbuat jahat, bisa lebih jahat dari orang bodoh. Artinya, jika hendak mengecoh, atau khianat, tentu lebih pandai. Jika hendak merusak pun lebih berbahaya. Hal itu jelas dalam keadaan dunia pada zaman yang akhir-akhir ini. Baikpun di Timur ataupun di Barat. Pengetahuan memang baik, jika dipergunakan untuk kebaikan. Artinya, yang didasarkan kepada roh yang terdidik untuk kebaikan.
Kita perlu kepada banyak pengetahuan, sebagaimana kita berhajat kepada roh yang suci, hidup lagi terdidik. Demikianlah memang yang menjadi basis-basis (dasar) pendidikan, dalam Islam khususnya, yang hendak memperbaiki pergaulan hidup manusia (sosial) ini.
KH. R. Z. Fananie mengajukan pertanyaan, sekarang, kearah manakah tujuan atau aliran pendidikan yang sebenarnya dari kaum muslimin (masyarakat Islam), bangsa Indonesia, yang masih seperti ini? Dalam zaman yang serupa ini?
KH. R. Z. Fananie berpandangan bahwa, pekerjaan mendidik, ialah ”menolong menunjukkan jalan kepada anak-anak, atau kepada siapa saja yang belum dapat berjalan dan memilih jalan dengan sendirinya”. Tentu saja pendidik (opvoeder) perlu menunjukan jalan yang sebaik-baiknya, agar menjadi baik dalam segala perbuatan, perkataan dan hatinya.
Menurut KH. R. Z. Fananie, sepanjang faham Islam, yang dinamakan baik itu, ialah yang tunduk kepada Allah dan Pesuruh-Nya. Artinya, kepada segala perintah dan peraturan-Nya. Orang yang bersifat tunduk kepada peraturan Islam sebagai tersebut, tentulah berfaidah hidupnya, untuk kebaikan bangsa, tanah air, sanak family, khususnya untuk dirinya sendiri. Kebaikan-kebaikan itu tentu akan diterima oleh Tuhan, dan begitupula oleh sesama hidup; karena akan mendatangkan kebaikan bagi pergaulan hidup manusia (sosial), dan menambah pula akan kemakmuran dunia. Itulah tujuan dan harapan dari segala ahli pendidik (poedagoog), yang mementingkan kebaikan hidup manusia yang sebenarnya.
Jadi seharusnya, demikian KH. R. Z. Fananie menegaskan,[18] segala pendidikan itu, kita tujukan atau kita dasarkan kepada kebaikan-kebaikan yang telah ditentukan oleh Pengatur alam (Islam), supaya yang kita didik itu menjadi orang yang bersopan yang tinggi atau disebut menjadi bangsa yang mulia, tinggi derajatnya.

6. Pembagian Pendidikan
KH. R. Z. Fananie membagi pendidikan menjadi dua, yakni: pendidikan tubuh (lichaamelyke opvoeding); dan pendidikan roh (geestelijke voeding).[19] Yang dimaksud dengan pendidikan tubuh yaitu: penjagaan tentang kesehatan badan, supaya kuat mengerjakan segala kewajibannya.[20] Sedangkan pendidikan roh dibagi menjadi dua bagian, yaitu pendidikan akal, dan pendidikan budi pekerti. [21]
Pendidikan akal bertujuan menuju supaya: tajam perasaanya dalam membedakan macam-macam perkara; dapat mengatur dan menyusun segala pandangan-pandangan atau pengalaman-pengalaman (ondervinding of ervaring), sehingga dapat menyesuaikan dengan pergaulan hidup sampai berguna; menghidupkan dan menguatkan kekuatannya mengapresiasi, yang kelak akan menolong pada kekuatan membikin pandangan-pandangannya yang baru; dan membiasakan berfikir yang teratur agar menjadi tajam dan cerdik, dan tidak mudah menerima keterangan-keterangan yang tidak diterima oleh akalnya.
            Adapun tujuan pendidikan budi pekerti (moral) ialah: kejujuran dan kelurusan hati, dan pemeliharaan tabiat-tabiat yang akan berguna besar bagi manusia dalam pergaula hidup (social life); tertanamnya benih kebaikan, sehingga selamanya cinta dan tertarik akan kebaikan; dan benci (terjauh) akan segala kejahatan; tertanamnya tabiat yang baik-baik yang amat berguna bagi pergaulan hidup bersama serta menjadi dasar bagi segala amal dunia dan akhirat

7. Tempat Pendidikan
Tempat pendidikan terbagi menjadi tiga bagian penting, yaitu: rumah tangga; rumah sekolahan; dan di luar dari keduanya tersebut, yaitu dalam pergaulan masyarakat umum.[22]
Pendidikan rumah tangga adalah asas bagi segala pendidikan sesudahnya. Asas pendidikan dalam rumah tangga ialah “kesayangan” dan “kecintaan”. Asas hidup dalam dunia pergaulan umum ialah ”keadilan” dan ”kebenaran”. Maka asas pendidikan dalam ruangan sekolahan ialah, kedua-duanya yaitu kesayangan dan keadilan atau kecintaan dan kebenaran, sebagai jembatan untuk menghubungkan kedua ruangan tersebut.
Dalam ruangan rumah tangga, ibu bapaklah yang menjadi pendidik. Dalam ruangan perguruan, gurulah yang mempunyai tanggungan. Dalam dunia pergaulan, pada ketika itu hanya diri masing-masing yang mengalami yang menjadi pendidik, yang mempunyai kewajiban mengatur diri, dan tanggung jawab atas segala halnya sendiri. Itulah pendidik yang paling berkuasa, dan yang paling penting.
Pendidikan social terbagi menjadi dua. Pertama, mengetahui dan melakukan segala ”kewajiban” supaya hidup sebagai manusia dan dapat bergaul dengan sesama hidup dengan semestinya. Kedua, mengetahui dan melakukan ”cara kesopanan” pergaulan umum, dengan cara yang lebih baik, yang menurut “peredaran zaman” dan yang menurut ”kehendak kemanusiaan yang suci lagi mulia”.

Dialektika Pendidikan Karakter KH. R. Z. Fananie
KH. R. Z. Fananie berpandangan bahwa pendidikan itu sepanjang masa. Baik orang muda maupun orang dewasa, manusia di sepanjang hidup ini akan selalu berhajat kepada pendidikan. Karenanya, pendidikan bukanlah tanggung jawab orang tua dan guru-guru semata, melainkan tanggung jawab bersama dari semua warga bangsa, termasuk golongan-golongan, organisasi-organisasi dan perkumpulan lainnya.
Secara esensial, pendidikan bagi KH. R. Z. Fananie adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban dan pelaksanaan cara kesopanan menuju tergapainya kebaikan, kemajuan dan ketinggian martabat bangsa dan agama. Semua itu dapat terlaksana apabila bangsa manusia, umat Islam dan hamba Allah telah terdidik sebagaimana mestinya, telah berasas dengan asas yang kokoh, serta penuh dengan keyakinan (keimanan), seperti telah dikemukakan terdahulu.
Senada dengan para ahli, KH. R. Z. Fananie memahami manifestasi “kebaikan” dalam tujuan pendidikan sebagai berasal dari “rasa kemanusiaan” (menschelijkheid).[23] Namun, KH. R. Z. Fananie melancarkan kritik terhadap kemungkinan terdaptnya subjektifitas dalam ekspresi “rasa kemanusiaan” itu. Atas dasar itu, dalam pemikiran KH. R. Z. Fananie kebaikan rasa kemanusiaan merupakan subjek yang tak terlepas atau sebagai bersumber dari “kebaikan Ilahi”, yang mencakup peraturan-peraturan Islam dan selebuhnya kultur Islam.
Aliran Barat modern menekankan tujuan pendidikan lebih pada kedirian (individualiteit) daripada rasa bersama (collectiviteit). Yang pertama menghendaki, supaya masing-masing manusia itu menghargai dirinya dan usahanya sendiri; sehingga yang berlebih-lebihan tak memperdulikan kerugian orang lain. Yang kedua menghendaki, persamaan dalam segala hal, semua hak bersama, sama rasa sama rata, sehingga diri masing-masing manusia itupun menjadi hak bersama, dan masing-masing itu menjadi sebagai salah satu anggota atau perkakas dari umum; sehingga yang berlebih-lebihan menghilangkan pula akan hak milik dan jasa masing-masing manusia. KH. R. Z. Fananie telah berusaha menengahi dua pandangan ini. KH. R. Z. Fananie mengungkapkan, perlu masing-masing kita itu mempunyai kedua sifat tersebut pada tempatnya masing-masing. Wajib menghormati harga diri, sebagaimana wajib membela dan berkorban untuk keperluan umum, yang kita ada satu dari pada masyarakat itu.
Seperti telah dikemukakan oleh KH. R. Z. Fananie,[24] tujuan mendidik bermacam-macam, percobaannya juga tidak sama, tempat dan masanya pun tidak sama. Tentu saja cara (metode)-nya mendidik pun berlain-lainan, pada tiap-tiap golongan bangsa. Oleh sebab itu, tiada mudah orang menjamin metode yang dianjurkan oleh pengarang-pengarang bangsa lain itu akan bersesuaian dan membawa hasil bagi Umat Islam, bangsa Indonesia khususnya, yang hidup di zaman ini dan zaman yang akan datang, dalam negeri yang seperti ini pula. Karena mereka ada berlainan tujuan, kebutuhan dan kepentingan dengan umat-umat tersebut dan berlainan pula udara, masa dan bangsanya.
Caranya (metode) pendidikan bangsa Barat yang telah umum dikatakan ada di atas kemenangan tentang kemajuan itu, tentu tidak boleh ditiru dan diambil ukuran sama sekali oleh Umat Timur (Islam), yang masih semacam ini keadaanya. Hanya saja, bolehlah apa yang diterangkan paedagoog-paedagoog itu dijadikan sebagai pedoman bagi amalan (praktik) kita mendidik, karena sebanyak yang berlainan, masih ada pula yang bersesuaian (cocok). Alhasil, mana yang sesuai dan kita pandang perlu, kita pakai, dan kita cobakan. Dan mana yang berbahaya dan tak sesuai, kita jaga jangan sampai dapat mempengaruhi siapa-siapa yang kita didik.
KH. R. Z. Fananie telah membagi pendidikan menjadi dua, yakni jasmani (tubuh) dan rohani (moral). Kedua-duanya pembagian tersebut terdapat pertaliannya yang kokoh. KH. R. Z. Fananie menukil sabda Nabi S.A.W. yang artinya: “Akal (roh) yang sehat itu tempatnya (pun) di tubuh yang sehat”. KH. R. Z. Fananie menjelaskan, orang yang banyak susah atau banyak berfikir, tubuhnya pun dibawa pula oleh kesusahan dan kepayahan, sehingga banyak kelihatan orang-orang itu terganggu benar kesehatan tubuhnya. Sebaliknya orang yang tubuhnya sakit-sakit, atau kurang sehat, tentu tidak bisa senang dan tenang fikirnya. Semua itu menunjukkan antara roh dan jisim (jiwa dan raga) itu ada pertalian dan perhubungan yang tak boleh dipisahkan; satu dari yang satunya.
Sebagai dituturkan oleh KH. R. Z. Fananie,[25] ahli ilmu jiwa pun telah menerangkan, segala apa yang mengenai tubuh kita itu mesti membikin bekas atau berarti mengenai tubuh halus atau rohnya. Demikian pun segala apa yang memberi bekas bagi roh manusia itu pun ada dan tampak bekasnya dalam salah satu anggota tubuh manusia, khususnya benak atau otak dan perjalanan darah.
KH. R. Z. Fananie memberikan langkah prkatis pendidikan akal agar sesuai dengan yang diharapkan.[26] Pertama, dengan mengasah dan mengajar perasaan-perasaan. Kedua, dengan mengisikan ilmu pengetahuan. Yang keduanya itu dengan mengingat persesuaiannya dengan dasar-dasar (tabiat, karakter) yang ada dan kemajuannya bersamaan dengan umur anak-anak atau orang-orang yang kita didik.
Bagi KH. R. Z. Fananie, mengisikan ilmu pengetahuan itu salah satu dari jalan mendidik akal; sedang mengisikan ilmu berarti mengajar. Oleh karena itu berlainan sebenarnya arti mendidik dan mengajar antara onderwijs dan opvoeding. Tujuan mengajar adalah mendidik, tetapi tujuannya mendidik bukan hanya mengajar (mengisikan ilmu pengetahuan) saja. Dari itu, tujuan guru mengajar itu, bukan hanya mengisikan ilmu-ilmu saja, melainkan ialah mendidik akal anak-anak itu, supaya sampai kepada yang dimaksud oleh pendidikan akal tersebut di atas, dan menjadi hidup serta berjalan dengan sendirinya. Adapun caranya mendidik akal, dengan mengisikan ilmu pengetahuan itu, ialah ilmu mengajar atau ilmu guru, yang seharusnya guru-guru di sekolahan-sekolahan menyelidiki dan memperdalam. Lebih luasnya pembahasan ini ialah dalam kitab-kitab yang special untuk  pedoman guru.
Selain dari pendidikan akal, pendidikan roh meniscayakan perlunya pendidikan budi pekerti (moral). Dalam hal ini, KH. R. Z. Fananie menganjurkan pendalaman atas ilmu yang telah dispesialkan dalam Ilmu Tasawuf (penapis atau penjaring hati). Hanya saja KH. R. Z. Fananie mengingatkan bahwa dalam ajaran tasawuf ada yang melampaui batas-batas kemanusiaan dan ke Islaman sendiri, karena kemasukan pengaruh-pengaruh dari luar Islam, seperti Budha, Yahudi dll.[27]
Dalam pandangan KH. R. Z. Fananie, pendidikan budi pekerti ini, mengandung segala sifat kebaikan kemuliaan dan kelurusan, keikhlasan, kesungguhan bekerja, kebersihan, kepercayaan kepada tenaga sendiri dan sebagainya. Dari itu, segala macam pendidikan sebagai pendidikan ke Islaman kerakyatan, ke..., dan lain sebagainya yang tersebut dalam tujuan pendidikan itu terletaklah dalam pendidikan budi pekerti ini, dan itulah yang dituju oleh ilmu budi (idiologi).
Sebenarnya, menurut KH. R. Z. Fananie, kejadian-kejadian dan keadaan yang tiada diingini oleh pergaulan umum dan yang tiada pantas-pantas itu, tak lain ialah karena kerusakan budi pekerti ini, sehingga terjadi pelanggaran-pelanggaran hak dan kewajiban yang telah ada ketentuannya. Atau boleh dikatakan sebab kosongnya dari pendidikan, sehingga akal dan kemanusiaan, dihalau oleh nafsunya, kearah yang tiada berpedoman. Dengan tingginya pendidikan budi pekerti inilah akan diharap tingginya derajat satu-satu bangsa, dan dengan demikianlah dunia akan menjadi makmur, aman serta sentosa. Demikianlah yang menjadi semboyan orang-orang yang ahli dalam penyelidikan budi pekerti.
KH. R. Z. Fananie menegaskan, mendidik budi pekerti bukan mengajar! Mendidik budi pekerti ialah menanam apa yang dimaksud oleh pendidikan budi pekerti itu, sehingga menjadi dasar, atau darah daging (kebiasaan), bagi siapa-siapa yang dididik.Tentu saja caranya mendidik itu tiada seperti mengajar. Tiada cukup hanya dengan memberi pengertian (nasihat) tentang kebaikan ini dan kejahatan itu, atau dengan cegahan begini dan perintah begitu. Karena jika sekira cukup dengan cara yang seperti itu, alangkah mudahnya dan cepatnya mendidik dan sebenarnya tiadalah cukup dengan cara yang semacam itu. Nasihat kepada orang-orang atau anak-anak yang telah mengerti (dalam pengertiannya) yang tiada disertai dengan amalan (pimpinan dan pembawaan), ibarat perintah berjalan, kepada orang yang buta (belum tahu jalan) yang artinya belum menunjukkan jalan. Tentu akan sukar pula berhasilnya.
KH. R. Z. Fananie membuat kerangka tanggung jawab pendidikan, yakni orang tua di rumah tangga, guru di rumah sekolahan dan diri (jiwa) di dalam pergaulan masyarakat. Bagi KH. R. Z. Fananie, sekolahan amat besar pengaruhnya. Akan tetapi, mudah pula mempengaruhi kepada beberapa hal yang tak diingini. Yaitu apabila sekolahan itu hanya menghasilkan kecerdasan (intelektualisme) saja, yang dapat mempengaruhi tidak-baik bagi kemanusiaan seseorang. KH. R. Z. Fananie mengutif pandangan Tuan Ki Hajar Dewantara, sebagai paedagoog Indonesia yang membangunkan rumah perguruan Taman Siswa, yang menyatakan: “………….Sekarang sebaliknya keadaan pendidikan, yang hanya disandarkan kepada aturan “onderwijs” dengan caranya “school system” . Telah maklumlah kita semua, bahwa udara yang ada, hanya udara  “intelektualisme” yang seringkali berjauhan dengan adat kemanusiaan (pesara).[28] KH. R. Z. Fananie menjelaskan, Tuan Ki Hajar Dewantara yang dengan terang kami katakan bukan seorang Islam, demikian pendapatnya. Dari itu tidaklah akan curiga rasanya kalau kaum Muslimin mengeluarkan pemandangannya pula yang serupa dengan itu.
KH. R. Z. Fananie menuturkan, sekolahan yang tidak didasarkan kepada Islam ini, terkadang menjadi titihan anak-anak untuk keluar dari keislaman dan peradaban, karena di dalam sekolahan itulah anak-anak mulai mendapat pengaruh yang jauh dari keislaman dan peradaban, yang lazim bagi mereka, bahkan terkadang sampai mendapat pengauh yang berlawanan, anti dan benci kepada Islam dan peradaban, sebagaimana yang telah diterangkan oleh Tuan Ki Hajar Dewantara di atas.
Tentu saja lebih melekaskan jauhnya dari Islam dan peraban kita apabila anak-anak itu tidak atau belum tahu keadaan Islam dan kesopanan yang sebenarnya. Jadi mudah sekali timbanganya itu berat sebelah, apabila ada pengaruh lain-lain yang sedikit saja. Dari itu awaslah bagi siapa-siapa yang mempunyai anak untuk disekolahkan. Meskipun anak-anak itu tiada mendapat propaganda atau ajakan dengan terang-terangan, tetapi dengan adanya pengaruh (Invloed) dari guru-guru dan temen sekolah saja, mudah sekali menghapuskan keimanan mereka. Bermula, kebanyakan mengatakan: “Islam itu memang baik”. Kemudian mengatakan: “Semua-mua  itu tujuannya baik”. Akhirnya mengatakan lagi: “Ah, Islam itu agak kurang baik, dan menurut timbangan orang yang pandai (meskipun yang disebut orang pandai itu bukan orang Islam) banyak yang tidak baik”.
Demikianlah seterusnya sehingga menjadi anti Islam, yang seakan-akan tiada dengan sengaja. Dan berani mencaci dan memaki Islam, padahal ia belum tahu apakah dan kemanakah tujuan Islam itu. Demikianlah kebanyakan keadaan kaum terpelajar bangsa kita Indonesia! Semua itu disebabkan oleh beberapa kesalahan: 1) Belum cukupnya sekolahan-sekolahan yang berdasar Islam, sehingga terpaksa anak-anak Islam masuk ke sekolahan-sekolahan yang bukan Islam, atau sekolah yang berlawanan dengan keislaman; 2) Kurang pergaulannya si anak dengan sanak famili yang beragama Islam atau bersopan secara kemanusiaan (Islam); dan 3) Kurangnya penerangan Islam bagi anak-anak dan orang tuanya, sehingga tak diketahuinya perbedaan antara: Kemajuan dengan peradaban; Cultur dengan kemajuan; Islam dengan orang-orang Islam; Kepandaian dengan kesopanan. Tiap-tiap jodoh tersebut dipersamakan saja, sehingga semua orang yang maju itulah katanya yang beschaving dan yang bersopan. Dan lain-lain sebab lagi masih banyak, yang ringkasnya ialah: karena orang Islam belum ditingkat kemuliaan. Pada sisi ini, KH. R. Z. Fananie menyuarakan, marilah kita berdoa dengan amalan (Kerja).[29]
Mendirikan sekolah adalah tanggung jawab orang tua, demikian tegas KH. R. Z. Fananie.[30] Jangan salah sangka, mendirikan sekolahan itu hanya kewajiban dan tanggungan pemerintah saja, --bahkan pemerintah itu sebenarnya pun wakil dari segala orang tua. Orang tua membayar cukai, rodi, belasting dan lain-lain kepada pemerintah. Kemudian dikeluarkan sebagian untuk sekolahan. Lebih-lebih sekolahan yang berhubung dengan pendidikan yang diacu oleh orang tua sebagai keagamaan dan ke-Islaman, maka pemerintah di negeri kita, netral dalam hal itu.
Orang tua tidak lepas dari upaya mendidik meskipun anaknya telah sekolah. Juga harus terdapat perhubungan (kontak) antara rumah tangga dan rumah sekolah. Di situ terdapat kewajiban orang tua terhadap sekolah, dan sebaliknya terdapat kewajiban sekolah terhadap orang tua. Demikian rekatnya hubungan ruang-ruang pendidikan, sehingga ruang kosong antara rumah tangga dan sekolahan pun perlu diisi dengan kegiatan-kegiatan pendidikan oleh semisal Kepanduan (Padvinder). Menurut KH. R. Z. Fananie, kepanduan adalah sebaik-baik jalan untuk mendidik dan menjaga anak di luar rumah tangga dan sekolahan.[31] Dengan ringkas, pendidikan kepanduanlah yang akan menolong pendidikan rumah tangga dan rumah sekolah. Oleh karena itu kewajiban bapak-bapak dan kaum guru, membantu kepada pergerakan pandu itu, serta melindungkan anak-anak ke bawah benderanya, dan mengamat-amati pergerakan pemimpin-pemimpinnya. Supaya sama-sama berhasil segala tujuannya.
Bahkan, sebelum itu apabila terpaksa pengasuhan anak diserahkan kepada pengasuh (babu) akibat kesibukan orang tua di luar rumah, maka perlu diperhatikan dengan serius. Alhasil, pembantu mesti tau ilmu pendidikan sebanyak orang tua pula.[32] Akan tetapi babu (pembantu, ed.) yang kebanyakan di tanah air kita, masih jauh benar dari mengerti ilmu pendidikan itu. Suatu kesalahan yang besar orang tua yang menyerahkan anaknya kepada pembantu, yang tak mengerti ilmu pendidikan. Lebih-lebih lagi jika pembantu tadi telah rendah budinya, kurang sopannya, sebagai kebanyakan.
Jika sekiranya terpaksa untuk menyerahkan anak-anak ke tangan pembantu, maka pilihlah suatu pengasuh yang cakap, cukup, dalam ilmu pendidikan (asuhan). Supaya sampai kepada maksud yang kita harapkan. Memang sukar mencari pengasuh yang semacam itu, lebih lagi di negeri kita yang masih kurang benar kemajuan pendidikan kaum ibu. Akan tetapi, jika kita ajarkan tentang pendidikan ini kepada pengasuh-pengasuh yang akan kita serahi anak itu, apa salahnya? Dengan diadakan kursus-kursus bagi mereka.
Suatu pekerjaan pembantu (pamong), bukan sekali-kali pekerjaan yang hina. Akan tetapi jongos-jongos yang rusak moralnya (budinya), itulah yang hina. Oleh karena itu di negeri-negeri yang berkemajuan, pengasuh-pengasuh tadi, tahu benar akan pendidikan itu, dan gajinya pun tak terbilang sen saja, malahan berbilang puluhan atau ratusan rupiah. Lebih lagi jika anak tadi akan menjadi harapan yang besar seperti putra-putra Raja-Raja atau putrinya. Mereka itu mesti ada pengasuh yang tertentu, yang keluaran sekolah tinggi dalam pendidikan atau proffesor-proffesor. Karena mereka akan diharap menggantikan memegang kerajaan.
Di atas semua itu, KH. R. Z. Fananie meniscayakan pendalaman ilmu jiwa (psikologi) dalam pendidikan. Disebabkan adanya peredaran keadaan (natur) manusia, yang membawa kepada peredaran karakter (tabi’at), maka caranya mendidik atau menanam pendidikan tadi, haruslah disesuaikan dengan keadaan siapa-siapa yang dididik, di mana ada perubahan tentu berubah pula taktik dan cara mendidik itu. Seumpama dokter hendak mengobati sesuatu penyakit, lebih dahulu mesti memeriksa keadaan penyakit itu, dan mengetahui bagaimana kebiasaan penyakit yang serupa itu, menurut ilmu kedokterannya. Kemudian barulah memberi resep atau obatnya, yang telah dipandang sesuai dengan penyakit yang telah diperiksa itu. Keadaan anak-anak tentu berlainan dengan pemuda, dan tabi’at pemuda pun berlainan dengan orang dewasa. Jelasnya setiap waktu bertambahlah kemajuan akal manusia ini, dan berubahlah karenanya segala keadaannya, dan membawa kepada peredaran pendidikan yang akan diberikan padanya. Maka di sini kewajiban pendidik, ialah menyesuaikan jalan pendidikannya itu, dengan tabi’at atau karakter manusia yang dididik, supaya dapat dibawa kearah yang dituju dengan mudah lagi sempurna.
Dengan mengetahui “peredaran tabiat” inilah pendidik dapat meletakkan benih-benih dengan senagaja, di atas dasar-dasar yang bersesuaian, dan dapat memberi obat yang manjur bagi masing-masing penyakit, dan tidak akan memaksa kepada sesuatu yang tidak pada tempat dan masanya. Beberapa banyak anak-anak yang kehilangan tabiat keanakannya (tabiat yang mesti bagi anak-anak), hingga tertutup jalan kemajuan roh (geest)nya. Hal itu tidak lain adalah disebabkan kesalahan pendidikan. Anak-anak disangka sebagai orang dewasa juga, hanya tubuhnya yag kecil, sehingga diperbuat dan dipaksa sebagaimana orang-orang yang telah dewasa.
Sebagaimana dipahami oleh KH. R. Z. Fananie, anak-anak atau manusia itu ada mempunyai aanleg masing-masing.[33] Yang tidak tentu sama, dengan aanleg orang tuanya. Jika manusia bekerja atau belajar dengan menurut aanleg itu, lekaslah maju. Menyelidiki aanleg ini memang suatu pekerjaan yang agak sulit dalam pendidikan. Oleh karena itu tak cukuplah dengan sehari dua hari saja, bahkan semenjak kecilnya hendaklah orang tua telah memperhatikan bersama-sama dengan guru-guru di sekolah rendah dan sambungannya.
Terlebih pendidikan pemuda haruslah mendapat perhatian tertentu. Masa muda awal disebut dengan masa kekuatiran.[34] Pemuda kandidat manusia, akan menggantikan orang tua di dalam masyarakat hidup. Akal pemuda (yang belum rusak) amat tinggi, dalam dan jauh, yang membawa kepada kemajuan yang cepat dalam menuntut ilmu pengetahuan. Dan selalu ingin mengetahui beberapa soal-soal penting, yang terkadang-kadang keluar dari fikirannya sendiri. Akan tetapi tiada begitu halnya pemuda yang telah rusak moralnya (akhlaknya). Kehabisan otaknya untuk hal-hal yang tidak perlu. Yang kesemuanya itu dapat membawa diri ke tepi gelombang kesengsaraan, dan melupakan kepada masa yang akan datang.
Yang sebaik-baik jalan pendidikan pemuda, ialah: Perikatan (perkumpulan) dari antara pemuda sendiri, yang menuju kepada kebaikan budi pekerti. Karena apa yang dirasa kurang pantas tentu akan mendapat peringatan dari kawannya sendiri. Dalam perkumpulan itulah, pemuda dapat terdidik yang setinggi-tingginya, tentang pelajaran hidup yang lebih tinggi, dan perkumpulan itulah untuk menghidupkan beberapa perasaannya yang baik-baik. Ingatlah! manusia itu selama masih berakal dan berperasaan, selama itu pulalah masih menerima pendidikan, dan perobahan, demikian sebagai dituturkan oleh KH. R. Z. Fananie.
KH. R. Z. Fananie menyinggung anugerah dan hukuman dalam pendidikan. Sebaik-baik jalan hukuman, ialah hukuman natur (tabi’ie). Umpamanya: anak yang suka main api, terbakar tangannya; anak yang malas mandi, tidak enak tidurnya; anak yang merusakkan jendela atau tak mau menutup pintu biliknya, akan kedinginan; anak yang memainkan dawat (tinta), kotor pakaiannya; dan lain sebagainya. Hukuman atau pembalasan yang serupa itu, sangat besar faedahnya bagi kemajuan roh anak didikan. Karena dapat menimbulkan keinsafan diri, yang lebih berarti dari keinsafan yang ditimbulkan oleh orang lain. Karena hukuman tadi sebagai buah kerjanya sendiri. Sebaliknya juga pemberian anugrah haruslah sampai pada kesadaran tentang arti penting pelaksanaan perbuatan baik.
Tiba saatnya pada bahasan tentang adat kebiasaan sebagaimana dikemukakan oleh KH. R. Z. Fananie. Sebagian besar dari kehidupan manusia ini, ialah kebiasaan dalam bekerja, berfikir, dan bersopan santun. Adat kebiasaan ini suatu faktor (syarat) yang penting untuk kebahagiaan manusia atau kesengsaraannya. Sehingga ada orang yang mengatakan: “Adat kebiasaan itulah yang memaksa nasib seseorang’’. Menjaga supaya baiknya adat kebiasaan, dan menjauhkan dari yang tidak baik, itulah MENDIDIK namanya. Orang yang baru mulai dalam sesuatu perbuatan itu, sukarlah terasa olehnya. Kemudian berangsur mudah dengan berulang-ulangnya, sehingga akhirnya dapat mengerjakan dengan tidak perlu kepada perhatian dan fikiran yang sukar-sukar.
Kebiasaan itu wet alam yang kedua. Kerja orang yang hidup ini boleh dikatakan, 99% kebiasaan; semenjak bangun dari tidur, sampai kembali tidur malam hari, tak lain dari adat kebiasaan yang tak berhajat kepada fikiran dan perhatian. Jadi manusia ini, seakan-akan hanya sebagai sesuatu artikel yang ditulis oleh zaman (apa yang dibiasakan) dan dikemudian disiarkan dan dibaca kembali. Berarti, kalau dibiasakan tadi baik, maka baiklah jadinya; dan apabila yang dibiasakan tadi tidak baik, maka tidak baiklah jadinya. Meskipun natur (tabi’at) manusia itu suka kepada kebaikan, dan mencari kesempurnaan, tetapi mengubah dari yang telah terbiasa (terjadi) itu, amat susah sekali. Sehingga ada yang mengatakan tak bisa diubah lagi. Itulah maka dikatakan: ”Adat kebiasaan itu mengalahkan dasar dan natur.
Adat kebiasaan terbagi menjadi tiga. Pertama, adat kebiasaan dalam pekerjaan. Adat kebiasaan dalam bekerja ini, sangat besar artinya. Dengan itulah manusia dapat mengerjakan pekerjaannya dengan tiada merasa sukar atau penat. Dan bisa dengan praktis, cepat lagipun baik. Dan memudahkan pula kepada kerja yang lain-lain yang serupa dengan itu. Begitu pula, menjadikan manusia dapat mengerjakan dua, tiga pekerjaan dalam satu waktu. Semua itu mudah disaksikan dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Kedua, adat kebiasaan dalam akal (berfikir). Seseorang yang menuntut pengetahuan, apabila telah banyak menyelidiki dan mengulang-ulang, mendalamlah faham ilmu tadi. Dan tetaplah dalam fikirannya. Tetapnya ilmu itulah yang menjadi adat kebiasaan akal, yang telah lama ditanam itu. Orang yang ahli dalam Wiskunde, mudahlah baginya menjawab soalan-soalan yang baru dalam soalan itu, dengan cepatnya. Ahli tarikh, mudah sekali menerangkan sebab-sebabnya sesuatu kejadian yang baru, dan menerangkan apa yang akan menjadi buahnya (resultaat). Demikian pulalah orang yang telah biasa dalam sesuatu hal.
Ketiga, adat kebiasaan dalam perangai. Dalam fasal pendidikan social telah diterangkan, betapa halnya manusia hidup, yang harus menurut wet-wet pergaulannya, yang merupakan perangai atau budi pekerti. Semua itu akan mudah dilakukan dengan rela hatinya, apabila telah dibiasakan. Dan hal itu tidak boleh jika hanya diajarkan sebagai pidato-pidato atau khutbah-khutbah saja. Umpamanya: kebersihan, cinta kewajiban, percaya diri sendiri, suka berkorban untuk keperluan umum, keberanian, kuat kemauan, dan lain-lainnya. Semua itu cara mengajarnya atau menanamnya di anak-anak didikan, sebagaimana cara mengajar main bola, musik dan sebagainya. Artinya tiada boleh dengan kata-kata saja, tetapi mesti dengan dibiasakan, sehingga menjadi tabi’at (natur)nya. Itulah jalan yang sebaik-baiknya.
Untuk membikin adat kebiasaan yang baik, membereskan yang tidak baik, terdapat beberapa jalan. Pertama, ketika orang hendak mulai sesuatu perbuatan, harus menguatkan kemauannya dengan sekauat-kuatnya, yang tak dapat dipengaruhi oleh hasutan nafsunya. Caranya ialah dengan membulatkan keyakinan kepada maksud itu, dan menetapkan pendirian, dan menjauhkan segala keraguan-raguan, yang dapat mengurangkan keyakinan tadi.
Kedua, supaya kemauan (wil) tadi disertai sekali dengan amalan (daad). Karena perubahan yang akan dibikin itu, tidak akan ada bekasnya kalau hanya dengan kemauan, yang hanya merupakan rancangan-rancangan (werk-program) saja. Setelah dimulai dan diamalkan, barulah ada bekasnya. Otak pada waktu muda itu, masih lunak dan datar; mudah menerima perbaikan. Kalau dibiar-biarkan, tentu akal lekas terlanjur kepada sesuatu kebiasaan yang tiada inginkan yang akan sukar diubah. Ketiga, perlu juga kepada pouze atau istirahat. Hal itu, sebagaimana orang mengukir di atas otak. Dalam mengukir tadi perlu kepada berhenti untuk melepaskan lelah. Dalam berhenti itulah otak tadi menjadi masak, dan menjadi kuat.
Adat kebiasaan itu, mempunyai kekuatan yang dapat mengalahkan atau mempengaruhi fikiran dan kemauan. Karenanya, anak-anak jangan dijadikan seperti perkakas (mesin) yang hanya dapat melakukan apa yang dibiasakan padanya, dengan tiada menjalankan fikiran dan timbangannya sendiri.

Penutup
Tidak berlebihan bila gagasan buku ini dijadikan rujukan bagi perwujudan pendidikan karakter bangsa Indonesia. Hal ini tidak serta-merta menyatakan bahwa buku ini telah menampung seluruh kebutuhan zaman sekarang ini.
KH. R. Z. Fananie menyatakan, meskipun kami belum ahli benar (specialis) dalam soal pendidikan ini, tetapi, selalu kami praktik serta memperhatikan pendapatan-pendapatan dan buah fikiran beberapa orang yang telah ahli, dan selalu memperhatikan kehausan bangsa kita kepada kemajuan pendidikan. Maka kitab inilah menjadi penambah lengkapnya keperluan untuk itu, meskipun belum cukup sempurna. Dan senantiasa mengharapkan perbaikan dari bangsa kami yang budiman lagi gunawan.[35]
Memang demikian adanya, berbagai arahan dalam buku ini bukanlah sebatas wacana pengarang. Akan tetapi, telah dipraktekkan oleh beliau sendiri sejak tahun 1936. Sementara itu, penulisannya dan pemberian judul buku ini pun, seperti dikemukakan oleh KH. R. Z. Fananie, telah berusaha dipersesuaikan sedapat-dapatnya dengan keadaan masyarakat umat Islam pada masa itu. Inilah setengah dari tanda-tanda kecintaan terhadap bangsa kami adanya, demikianlah penuturan KH. R. Z. Fananie.  
Karena itu, bila warga bangsa ini telah melaksanakan prakteknya sejak gagasan ini dilontarkan, bisa jadi kita tidak terlalu repot merumuskan pendidikan karakter seperti yang sedang menjadi perhatian sekarang ini. Jika sejak saat itu dijalankan, boleh jadi pula kita saat ini telah mencapai kemajuan dan ketinggian martabat bangsa dan agama di tanah air tercinta ini.  
Wa Allah ‘Alam...!


[1] Mestika Zed, Kepialangan Politik dan Revolusi: Palembang 1900-1950 (Jakarta: LP3ES, 2003), h. 146. R. Z. Fananie memiliki kedekatan dengan H. Mohammad Akil Kahir, seorang pedagang besar di Palembang. Keluarga H. Akil dikenal luas sebagai pembela Islam modernis melalui sekolah agama yang didirikan di Kota Palembang. Firma H. Akil juga memberi bantuan keuangan dalam pembangunan sekolah HIS Muhammadiyah di kampung 17 Ilir pada 1935. J.C.M, Peeters, “Kaum Tuan en Kaum Muda in de Residentie Palembang: 1925-1934.” Doctoral Scripte (Leiden: Universitas Leiden, 1988), h. 81. Mestika Zed, Kepialangan, Loc.Cit.
[2] H. Akil ini disebut-sebut sebagai pendukung gerakan Kaum Muda (reformis), yang menggunakan sekolah agama Aliyyah Diniyah sebagai markas kegiatan. Firma H. Akil banyak menyokong dana bagi kepentingan SI dan Muhammadiyah pada akhir tahun 1920-an. Setiap terjadi konflik antara kaum muda dan kaum tua yang banyak disokong pemerintahan kolonial, Muhammadiyah dan PSII tampil sebagai juru bicara kaum modernis Islam sejak tahun 1926. Mestika Zed, Kepialangan, Loc.Cit.
[3]Ibid.
[4]Ibid., h. 279-280. Seiring bergulirnya roda revolusi, Jepang menciptakan Hookokai atau Badan Kebangkitan Rakyat (BKR) sekitar bulan Maret 1944. Jepang menghendaki anggota-anggota badan tersebut berasal dari kalangan pemerintahan, namun kaum pergerakan, seperti dituturkan KH. R. Zainuddin Fananie, menyiasati supaya pimpinan Hookokai Palembang tetap harus berada di tangan orang-orang pergerakan. Mestika Zed, Kepialangan, Op.Cit., h. 261-262.
[5]Ibid., h. 315.
[6]Ibid. h. 281.
[7]Ibid., h. 318.
[8] BKR adalah Badan Keamanan Rakyat, cikal bakal TNI, tenaga inti berasal dari para pemuda yang pernah memperoleh pendidikan militer Jepang.
[9]Mestika Zed, Kepialangan, Op. Cit., h. 316.
[10] Mulai dari 1906, sistem pendidikan Islam di Indonesia sudah mulai mengadaptasi sistem pendidikan modern Belanda. Abudien Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), h. 12.
[11] Umum dikenal bahwa kebanyakan pesantren menggunakan bentuk sorogan, bandongan, halaqah dan hafalan dalam pengajarannya. Mastuhu, Dinamika Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Seri INIS XX (Jakarta: INIS, 1994), h. 61.
[12] Gontor tetap menjadi pesantren yang cukup berakar pada tradisi pesantren, tetapi sudah menempuh jalan baru. Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1986), h. xiv. Bandingkan dengan Frederick M. Denny, “Pesantren,” dalam The Encyclopedia of Islam, versi CD-ROM.
[13] Setelah menerapkan sistem pendidikan model KMI, pesantren ini membuktikan komitmennya untuk mencetak para muridnya mampu berpartisipasi dalam komunitas global, terutama di dunia Islam, sehingga lahir sejumlah tokoh keagamaan, pemerintahan dan pendidikan di Indonesia.  Frederick M. Denny, “Pesantren,” Loc.Cit.
[14]KH. Zainuddin Fananie, Pedoman Penangkis Crisis (Palembang: t.p., 1935). h. 1. Lihat juga KH. R. Z. Fananie, Pedoman Pendidikan Modern (Palembang: Penerangan Islam, 1934), h. 74.
[15] Ibid., h. 5.
[16] Ibid., h. 6.
[17] Ibid., h. 7.
[18] Ibid., h. 9.
[19] Ibid., h. 11.
[20] Ibid., h. 12.
[21] Ibid., h. 14.
[22] Ibid., h. 18.
[23] Ibid., h. 10.
[24] Ibid., h. 11.
[25] Ibid., h. 12.
[26] Ibid., h. 15.
[27] Ibid., h. 16.
[28] Ibid., h. 22.
[29] Ibid., h. 23.
[30] Ibid., h. 45.
[31] Ibid., h. 47.
[32] Ibid., h. 44.
[33] Ibid., h. 51.
[34] Ibid., h. 53.
[35] Ibid., h. 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar