Minggu, 21 November 2010

Direktur Fananie Center: Husnan Bey Fananie, MA.

Husnan Bey Fananie (Direktur Fananie Center)




Drs. H. Husnan Bey Fananie, MA., pengantar buku ini, lahir di Jakarta tanggal 13 Nopember 1967. Husnan, sapaan akrab beliau, merupakan cucu dari KH. R. Zainuddin Fananie (1905-1967), penulis karya “Pedoman Pendidikan Modern” (1934). Bagi Husnan, pribadi yang murah senyum ini, karya-karya peninggalan mendiang eyangnya merupakan warisan luhur yang tak ternilai harganya. Sayangnya, sebagian besar karya Fananie, salah seorang Trimurti pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, diakuinya tercecer tak diketahui keberadaannya. Beberapa karya ditemukan di Belanda, saat cucu tokoh besar ini, studi magister at The Faculty of Theology and Art in INIS Rijks Universiteit Leiden (1994-1997). Selain buku yang disebutkan di muka, karya KH. Zaenuddin Fananie, yang ada ditangan santri alumni Gontor ini, adalah “Pedoman Penangkis Crisis” (1935) dan “Sendjata Pengandjoer dan Pemimpin Islam” (1937).
 Bak mendapat titisan dari Sang Eyang, seorang tokoh pejuang pendidikan, sosial dan pergerakan Islam, Husnan --sosok muda yang pernah menjadi Asisten Pribadi Wakil Presiden Hamzah Haz ini, tampil sebagai pribadi yang unik, cerdas dan baik. Unik, karena ia, lulusan Peserta Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) XLII Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) tahun 2008, memiliki multi talenta di bidang akademis, politik, tabligh dan seni. Disebut cerdas, Husnan, sosok penyayang kedua orang tua dan keluarga ini, dilihat dari kemampuannya, khususnya dalam menguasai bahasa, seperti Arab, Ingris, Belanda dan Urdu. Ia, santri yang sering menjadi duta luar negeri ini, tak diragukan lagi kebaikanya. Di mata berbagai pihak, seperti keluarga, famili, sahabat dan kenalannya, ia diakui sebagai orang yang fasih dalam hal ahlaq dan etika. Sang Eyang, KH. R. Zainuddin Fananie, dalam bukunya Pedoman Pendidikan Modern, menegaskan bahwa “kecerdasan saja tidak cukup tetapi diperlukan kebaikan untuk menyongsong prestasi yang penuh kemuliaan”. Di sinilah, inti sari ajaran Sang Eyang mendapat kulminasinya pada diri Husnan.
Di bidang akademis Husnan, yang penuh dengan seabreg pengalaman ini, baik di dalam maupun luar negeri, telah merampungkan studi di beberapa tempat dan tingkatan, seperti Kuliyatul Mu’alimin al-Islamiyah (KMI) Pondok Modern Darussalam Gontor (1982-1986); Faculty of Education at Institut Pendidikan Darusslam (IPD) Pondok Modern Darussalam Gontor (1986-1988); English Departement at National Institute of Modern Languages (NIML) Qu’aidi Azam Ali Jinnah University, Islamabad Pakistan (1989-1990); History & Islamic Studies at University of The Punjab, Lahore Pakistan (1990-1992); Faculty of Political Science Government College Punjab University Lahore Pakistan (1992-1993); dan terakhir di Nederland with a thesis “Modernism In Islamic Education In Indonesia and India; A Case Studi of Pondok Modern Gontor and Aligarh.” Sebagai sosok yang selalu berhasrat untuk terus menuntut ilmu dan pengetahuan, sosok yang pernah mewakili Indonesia pada “NDI–CALD Workshop 2002, for Political Party Strategies to Combat Corruption”, Bangkok 1, Thailand, pada January 14–16, 2002 dan Bangkok 2, tahun 2003, memiliki prinsip yang tegas, yakni “sepanjang hidup adalah pendidikan” (long life education).
Dalam bidang politik, seorang tokoh muda Islam yang pernah terpilih menjadi President of Young Muslim Association in Europe, Den Haag The Neterlands (1994-1995), mempunyai pandangan yang dinamis, progresif, revolusioner, egaliter, demokratis dan transformatif. Pada dirinya terdapat integralisasi dan interdependensi yang harmonis antara politik dan Islam. Dalam koridor keajegan Islam sebagai way of life, ia melakukan jihad bersama partai yang memperjuangkan kepentingan umat Islam. Ia tercatat sebagai fungsionaris di Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pada saat yang sama, sosok seorang tokoh yang giat dalam berbagai seminar ini, tercatat sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi dan sekaligus sebagai seorang mubaligh yang sering melakukan syiar Islam di berbagai tempat. Dalam kapasitasnya sebagai mubaligh, sosok yang pernah Mewakili Indonesia pada Konferensi International “Networking Democracy: Enhancing The Role of Political Parties”, 22–29 April 2001, di  Nederland, kerap memberikan persepsi tentang Islam yang berwajah manusiawi, egaliter, inklusif dan mencerahkan. Baginya, Islam dipahami sebagai agama yang universal (rahmatan lil ‘alamin) dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta perdamaian. Dalam posisinya sebagai fungsionaris partai, ia selalu berusaha memperjungkan posisi politik umat Islam untuk mendapat porsi keadilan yang semestinya. Di beberapa kesempatan kunjungannya ke luar negeri, ia selalu menempatkan diri sebagai wakil umat Islam, seakan tokoh yang satu ini memiliki semangat yang tak habis-habisnya dalam perjungan Islam dan umat. Demikianlah, integralisasi politik dan agama (Islam) serta kecendekiaan dalam diri tokoh ini.
Terlebih dari itu, ia tidak pernah melupakan jati diri sebagai seorang santri. Justru kesantriannya ini yang selalu ia tanamkan dalam jiwa untuk mengiringi segala tindakannya. Di sela-sela aktifitasnya yang super sibuk dengan sejumlah agenda yang amat padat, ia masih menyempatkan diri untuk menjadi ustadz, mengajar ngaji di mushala rumahnya yang asri kepada anak-anak lingkungan tetangga. Hal ini dilakukannya sebagai konsekuensi dan tanggungjawab yang diajarkan di pesantren yang menegaskan, bahwa orang besar bukanlah yang bergelimang harta dan bukan pula jabatan yang tinggi, tetapi mereka yang bermanfaat untuk sekelilingnya dan bersedia mengajar ngaji kepada anak-anak, walaupun di sebuah surau kecil. Teranglah bahwa pada diri tokoh ini tertanam jiwa seorang santri yang tak terelakkan. Pada saat kalangan santri terpojokan oleh isu-isu miring dan stereotipe diskriminatif semisal radikalisme, terorisme, Husnan yang pernah menjadi Ketua Dewan Redaksi “Majalah Al-Ittihaad” (Young Moslem Association in Europe/Persatuan Pemuda Muslim se-Eropa) dari tahun 1993–1997 di Den Haag, Nederland, selalu tampil ke depan untuk memberikan penjelasan yang tepat tentang identitas dan kiprah santri sebagai kader umat. Laiknya santri sejati yang memiliki trah biologis keturunan kiyai besar, ia telah menampilkan ekspresi Islam yang tegas yang tak lepas dari prinsip-prinsip kesantunan. Tak heran bila figur santri yang satu ini, yang kini menjabat sebagai Staf Khusus Menteri pada Kementrian Agama RI., tampak disenangi banyak pihak dan disegani berbagai kalangan.
Dalam pemikiran Islam, Husnan yang pernah ditunjuk sebagai Pembicara pada Kongress PPI se-Eropa pada Bulan Juli 1995 di London–Inggris, memiliki tesis yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tesisnya menegaskan, umat Islam di Indonesia adalah benteng pertahanan terakhir umat Islam di dunia. Secara analitik, ia mengamati bahwa kaum muslimin di pelbagai belahan dunia tengah menghadapi tantangan besar berupa fragmentasi arahan modernisme, materialisme, kosmopolitanisme, hedonisme dan sebagainya. Praktis, gempuran-gempuran yang menglobal itu dapat merusak dan melumpuhkan tatanan umat Islam. Akan tetapi, pada saat yang sama ia memiliki sikap yang optimistik. Ia menegaskan, Islam di Indonesia benar-benar dapat menjadi benteng pertahanan terakhir dunia, sejauh kita memiliki tanggung jawab yang tinggi dalam pengembangan lembaga-lembaga keislaman, khususnya madrasah dan pondok pesantren. Atas dasar itulah, tokoh pemikir Islam progresif ini tak diragukan lagi komitmennya terhadap agenda-agenda penguatan madrasah dan pesantren.
Oleh karena itu, tokoh ini terjun langsung dalam pembelaan terhadap pesantren untuk menentukan langkah-langkah strategis agar tidak jebol oleh hantaman globalisasi yang selalu membawa dampak yang merugikan. Dalam ilustrasinya, ia memberikan gambaran tentang pesantren yang diibaratkan samudra yang luas dengan perahu-perahu yang hancur terbentur batu karang. Atau para santri jadilah batu karang itu sendiri yang terhujam ke dasar samudera yang paling dalam, dan memiliki puncak yang menjulang tinggi menantang matahari, melawan badai dan ombak, menghadang bayu dan topan, tetapi menjadi tempat bercumbunya dan beranak-pinaknya burung-burung laut dan berbagai kehidupan di air serta awan. Demikian motovasi untuk para santri yang kerap dituturkan oleh seorang pengajar di Islamic Training College (KMI) Pondok Modern Gontor, Ponorogo dari tahun 1986-1988, dengan materi Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Speech, Geography, Sejarah Dunia, Filsafat dan Al-Qur'an. Kepada para santri ia kerap mengatakan, “ketika kita terponggok dengan seeokor harimau besar dan lapar yang siap menerkam kita, apa yang harus kita lakukan? Kita harus terkam terlebih dahulu harimau itu sebelum dia menerkam kita. Jadi jangan kita diam ataupun lari dari situasi itu karena kita akan mati konyol. Kalaupun kita mati, maka mati dalam berjuang (syahid), dan jika hidup pun akan hidup terhormat”. Kita harus berprinsip ‘isy kariman au mut syahidan!
Untuk menelisik semangat yang bergolak dalam jiwanya, sejenak kita simak sebuah puisi yang ditulisnya berjudul: “Terbanglah...Rajawaliku!

Kau terbang membentang sayap...membawa harapan dari semua jenismu
Bulu-bulumu sehalus rasaku...
Kuku-kukumu, setajam semangatku...
Paruhmu, pengucap jiwaku...
Tak peduli buih..., tak peduli ombak...
Tak peduli angin..., kau terjang bersama matahari,
Kau bebas bersama sukma dan nalurimu....
Kau bebas melihat darah dan derita di bawahmu.
(Den Haag, 30 September 1993)

Kembali pada perhatiannya terhadap umat. Adalah logis dan bukanlah suatu hal yang muluk-muluk, pada saat tokoh yang pernah mengikuti rombongan kenegaraan Wakil Presiden RI. sebagai Intepreter (penerjemah) ke Negara-negara Timur Tengah, Sudan, Yaman, Saudi Arabia, Abu Dabi sekitar Agustus–September 2003 ini, berbicara seputar pemberdayaan umat, secara spontan ia menunjuk pada program-program penguatan madrasah dan pondok pesantren. Sebuah mega proyek yang telah dan sedang dilakukannya adalah kelanjutan dari perjuangan pergerakan Islam yang digagas secara gigih oleh mendiang Sang Eyang, KH. R. Zainuddin Fananie.
Seperti telah disinggung terdahulu, sosok ini pun amat kental dengan jiwa seni dan berkesenian. Ia suka melukis dan membuat puisi. Untuk mengusir leleh dari sisa menjalankan pekerjaan yang berat, sebagai ekspresi dari jiwa seninya, ia terkadang menyengajakan duduk di depan piano di rumahnya untuk melantunkan beberapa buah lagu bersama putra-putrinya tercinta, Kifah Gibraltar Bey Fananie (11 Tahun) dan Rumi Cahya Nurani Bey (7 Tahun). Demikianlah seputar rekam aktifitas tokoh santri transformatif bernama Husnan Bey Fananie. Seorang calon pemimpin masa depan yang tak bisa dibantahkan! Amin Ya Rabb al-Alamin...!


Biografi KH. R. Zainuddin Fananie




KH.R. Z.Fananie: Biografi Singkat
KH. R. Zainuddin Fananie lahir di Gontor Ponorogo Jawa Timur pada tanggal 23 Desember 1905. Putera keenam Kiyai Santoso Anom Besari. Silsilah KH. R. Zainuddin Fananie terhubung dengan Kiyai Tegalsari, Khalifah Hasan Besari. Kiyai Khalifah Tegalsari mengambil menantu Kiyai R.M. Sulaiman Djamaluddin, keturunan ke-IV Keraton Cirebon. Kiyai R.M. Sulaiman Djamaluddin mempunyai putera Kiyai Archam Anom Besari. Kiyai Archam Anom Basari mempunyai putera Kiyai R. Santosa Anom Besari yang bertempat tinggal di Ponorogo, Gontor, Jawa Timur. Istri Kiyai R. Santosa Anom Besari, Bu Nyai Santosa Anom Besari, merupakan keturunan Kanjeng Bupati Surodiningrat. Pasangan inilah yang melahirkan KH. R. Zainuddin Fananie.
Riwayat pendidikan KH. R. Z. Fananie, panggilan KH. R. Zainuddin Fananie, mula-mula masuk Sekolah Dasar Ongko Loro Jetis Ponorogo, dan sementara itu mondok  di pondok pesantren Josari Ponorogo, kemudian ke Termas Pacitan, lalu  ke Siwalan Panji Sidoarjo. Dari sekolah  Ongko Loro beliau pindah ke Sekolah Dasar Hollandshe Inlander School (HIS), kemudian melanjutkan ke Kweekschool (Sekalah Guru) di Padang. Sesudah tamat sekolah guru beliau masuk Leider School (Sekolah  Pemimpin) di Palembang. Selain itu,  beliau pernah  belajar pada Pendidikan Jurnalistik dan Tabligh School (Madrasah Muballighin III) di Yogyakarta, dan selesai pada tahun 1930.
KH. R. Z. Fananie mempunyai segudang pengalaman. Beliau pernah menjadi guru  di  HIS sejak 1926 sampai 1932, dan mengajar di School Opziener di Bengkulen sampai tahun 1934. Pada tahun 1929, KH. R. Z. Fananie mendapat tugas di Sumatera, sebagai salah seorang dari tiga konsul Muhammadiyah. KH. R. Z. Fananie bertugas di Sumatra Selatan, sementara dua sahabatnya, Buya Hamka dan Mahfudz Siddik, masing-masing bertugas di Sumatra Utara dan Barat. KH. R. Z. Fananie, tokoh Islam modernis, merupakan konsul pertama ormas ini se-Sumatra Selatan, dan dipilihnya 4 Ulu Kota Palembang sebagai pusat kegiatan.[1] Selain di ormas, KH. R. Z. Fananie, sebagai tokoh muda reformis, juga bergabung dengan Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).[2] KH. R. Z. Fananie merupakan salah satu tokoh PSII yang memiliki pengaruh sampai dengan periode Proklamasi Kemerdekaan.[3]
Pada tahun 1942 KH. R. Z. Fananie menjadi Kepala Penasehat Kepolisian Palembang hingga tahun 1943. Setahun kemudian menjabat pimpinan Kantor Keselamatan Rakyat di Palembang. Setelah itu dipilih menjadi Kepala Kantor Tata Usaha Kantor Sju Tjokan. Pada masa detik-detik revolusi, KH. R. Z. Fananie ikut terlibat menentukan formasi kepemimpinan Hookokai di Palembang dalam “Badan Pemerintahan Bangsa Indonesia” (BPBI). Menurut Mestika Zed, tokoh pergerakan KH. R. Z. Fananie merupakan salah satu pemain utama yang mengisi cikal-bakal aparatur pemerintahan Karesidenan Palembang.[4] Pada awal revolusi 1945, KH. R. Z. Fananie sendiri menempati posisi Kepala Bagian Sosial, sedangkan Ny. R. Z. Fananie memegang posisi Bidang Wanita.[5] Di sini,  KH. R. Z. Fananie menempati posisi sebagai wakil atau refresentasi tokoh nasionalis moderat dari kelompok Islam.[6]
KH. R. Z. Fananie ikut andil dalam revolusi Palembang. Masalah transportasi dan komunikasi menjadi kendala utama dalam mensosialisasikan revolusi di pedalaman. Tidak banyak orang kota yang mampu berbicara di depan masa petani. Mereka sulit membangkitkan gairah revolusi apalagi menerangkan soal-soal rumit berkaitan dengan politik kenegaraan. Badan pemerintahan hanya dapat mengandalkan segelitir tokoh nasionalis Islam semisal KH. R. Z. Fananie, yang pada masa sebelumnya banyak terlibat dalam badan propaganda Jepang.[7] H.M. Hasyim R., sekretaris Komite Nasional Indonesia (KNI), dan Kemas Usman Adil, ketua Barisan Pelopor Republik Indonesia, atau Barisan Pemuda Republik Indonesia (BPRI) Pagar Alam, menyebut KH. R. Z. Fananie sebagai salah seorang yang aktif melakukan perjalanan keliling ke daerah pedalaman. KH. R. Z. Fananie menyampaikan pesan dari Palembang di setiap kota kecil yang disinggahi –Prabumulih, Lahat, Tebing Tinggi, dan Lubuk Linggau. Pesan yang disampaikan menyangkut bagaimana mengumpulkan pimpinan-pimpinan BKR (bekas anggota Hookokai),[8] mendirikan BPRI, dan mengibarkan bendera Merah Putih.
Pada Januari 1946 digelar sidang pertama Komite Nasional Indonesia (KNI), yang telah menyandang nama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Keputusan sidang menetapkan KH. R. Z. Fananie sebagai Badan Pekerja Harian (BPH) DPR.[9] Tanggal 8 April 1953 KH. R. Z. Fanan diangkat oleh presiden menjadi anggota "Panitia Negara Perbaikan Makanan". Empat bulan setelah itu tepatnya pada tanggal 1 Agustus 1953 menduduki Kepala Jawatan Bimbingan dan Perbaikan Sosial pada Kementerian Sosial. Masih pada tahun yang sama beliau  menjabat Inspektur Kepala, Kepala Inspeksi Sosial Jawa Barat. Sejak tanggal 19 Januari 1956 mendapat kepercayaan menjadi Kepala Bagian Pendidikan Umum Kementerian Sosial. Pada pertengahan bulan Januari 1959 menjabat Kepala Kabinet Menteri Sosial. Setahun kemudian yaitu pada tanggal 12 Agustus 1957 menjadi Kepala Jawatan Pekerjaan Sosial. Dalam pada itu, KH. R. Z. Fananie tercatat mengikuti Rapat Paripurna III Musyawarah Pembantu Perencanaan Pembangunan Nasional (MUPPENAS), tanggal 29 Juni 1965 di Gedung MPRS Bandung. Terakhir adalah sebagai anggota BPP-MPRS sampai tahun 1967.
Semasa kerja di pulau Andalas (Sumatra), KH. R. Z. Fananie bertemu dengan pasangan hidup beliau, Hj. Rabiah M. (1915-2007). Pada tanggal  21 Juli 1967, KH. R. Z. Fananie meninggal dunia di kediaman beliau di Jakarta, meninggalkan seorang istri dan seorang putera semata wayang, KH. Drs. Rusdi Bey Fananie (Anggota Badan Wakaf Pondok Modern Gontor).
KH. R. Zainuddin Fananie, bersama kakak dan adik kandung beliau, yakni KH. Ahmad Sahal dan KH. Imam Zarkasyi, yang tergabung dalam TRIMURTI (Tiga Serangkai), merintis pendirian Kuliyatul Mu’alimin al-Islamiyah (KMI) Pondok Modern Darussalam Gontor, Jawa Timur, pada tahun 1936. Program yang mula pertama diselenggarakan adalah Tarbiyatul Athfal (TA), pendidikan anak-anak bagi masyarakat Gontor, yang ditangani langsung oleh Pak Sahal (sapaan akrab KH. Ahmad Sahal). Setelah jumlah alumni TA sudah banyak, untuk memenuhi jenjang pendidikan selanjutnya, dibukalah Sullamul Muta’allimin (Tangga Bagi Para Siswa) pada tahun 1932.
KH. R. Z. Fananie memiliki berbagai gagasan tentang pendidikan modern. Gagasan-gagasan itu ditulis sendiri oleh KH. R. Z. Fananie dan dibantu oleh KH. Imam Zarkasyi dalam bentuk buku yang diberi judul “Pedoman Pendidikan Modern”. Buku ini terbit pada tahun 1934 sebelum KMI didirikan pada tahun 1936. Semua orang tentu mafhum yang disebut modern pada saat itu adalah Barat. Dengan kata lain, pendidikan modern berarti pendidikan mengikuti model Barat, yang dalam konteks Indonesia diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda.[10] Sedangkan pesantren-pesantren yang ada umumnya dikenal sebagai sebagai lembaga pendidikan tradisional. [11] KH. R. Z. Fananie memiliki peran besar dalam perubahan model pendidikan dari tradisional (klasik) ke modern. Sebab, beliau langsung merasakan dan mengalami pendidikan model Barat. Perlu ditegaskan di sini bahwa, dalam proses modernisasi di Gontor, peran KH. R. Z. Fananie secara konseptual sangat menonjol setelah penulisan buku yang ada di tangan pembaca ini.[12]
Buku Pedoman Pendidikan Modern ditulis ketika pengarangnya sedang bertugas di Sumatra. KH. R. Fananie mempunyai relasi dengan berbagai golongan, tak terkecuali para ahli pendidikan. Beliau mempunyai hubungan yang sangat baik dengan Mahmud Yunus, yang dapat dipandang sebagai salah seorang pelopor pendidikan Islam modern di Indonesia. Pertemuan ini yang bisa jadi mendorong beliau untuk membekali sang adik, KH. Imam Zarkasyi, dengan pendidikan modern, yaitu dengan menganjurkan sang adik ini belajar di Normal School Padang, di bawah bimbingan Mahmud Yunus. Mengingat buku ini terbit sebelum adanya program KMI, dipastikan ia merupakan kerangka konseptual dari program modernisasi pendidikan di Gontor.[13] Dengan kata lain, KMI merupakan ramuan antara pengalaman dan konsep yang terkandung dalam buku ini.
KH. R. Z. Fananie merupakan ulama produktif yang melahirkan sejumlah karya. Selain “Pedoman Pendidikan Modern” (1934), KH. R. Z. Fananie menerbitkan buku-buku lain, seperti: “Pedoman Penangkis Crisis” (1935); “Sendjata Pengandjoer dan Pemimpin Islam” (1937); “Pengetahuan tentang Karang Mengarang dan Jurnalistik”; “Kesadaran dan Pedoman Suami Istri, Suluh Rakyat Indonesia”; “Ilmu Guru dan Soal Perguruan”; “Kursus Agama Islam”; “Ketinggian Martabat Islam”; “Islam Berhadapan dengan Dunia”; dan “Permenungan antara Islam dan Kristen”.[14]


[1] Mestika Zed, Kepialangan Politik dan Revolusi: Palembang 1900-1950 (Jakarta: LP3ES, 2003), h. 146. R. Z. Fananie memiliki kedekatan dengan H. Mohammad Akil Kahir, seorang pedagang besar di Palembang. Keluarga H. Akil dikenal luas sebagai pembela Islam modernis melalui sekolah agama yang didirikan di Kota Palembang. Firma H. Akil juga memberi bantuan keuangan dalam pembangunan sekolah HIS Muhammadiyah di kampung 17 Ilir pada 1935. J.C.M, Peeters, “Kaum Tuan en Kaum Muda in de Residentie Palembang: 1925-1934.” Doctoral Scripte (Leiden: Universitas Leiden, 1988), h. 81. Mestika Zed, Kepialangan, Loc.Cit.
[2] H. Akil ini disebut-sebut sebagai pendukung gerakan Kaum Muda (reformis), yang menggunakan sekolah agama Aliyyah Diniyah sebagai markas kegiatan. Firma H. Akil banyak menyokong dana bagi kepentingan SI dan Muhammadiyah pada akhir tahun 1920-an. Setiap terjadi konflik antara kaum muda dan kaum tua yang banyak disokong pemerintahan kolonial, Muhammadiyah dan PSII tampil sebagai juru bicara kaum modernis Islam sejak tahun 1926. Mestika Zed, Kepialangan, Loc.Cit.
[3]Ibid.
[4]Ibid., h. 279-280. Seiring bergulirnya roda revolusi, Jepang menciptakan Hookokai atau Badan Kebangkitan Rakyat (BKR) sekitar bulan Maret 1944. Jepang menghendaki anggota-anggota badan tersebut berasal dari kalangan pemerintahan, namun kaum pergerakan, seperti dituturkan KH. R. Zainuddin Fananie, menyiasati supaya pimpinan Hookokai Palembang tetap harus berada di tangan orang-orang pergerakan. Mestika Zed, Kepialangan, Op.Cit., h. 261-262.
[5]Ibid., h. 315.
[6]Ibid. h. 281.
[7]Ibid., h. 318.
[8] BKR adalah Badan Keamanan Rakyat, cikal bakal TNI, tenaga inti berasal dari para pemuda yang pernah memperoleh pendidikan militer Jepang.
[9]Mestika Zed, Kepialangan, Op. Cit., h. 316.
[10] Mulai dari 1906, sistem pendidikan Islam di Indonesia sudah mulai mengadaptasi sistem pendidikan modern Belanda. Abudien Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), h. 12.
[11] Umum dikenal bahwa kebanyakan pesantren menggunakan bentuk sorogan, bandongan, halaqah dan hafalan dalam pengajarannya. Mastuhu, Dinamika Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Seri INIS XX (Jakarta: INIS, 1994), h. 61.
[12] Gontor tetap menjadi pesantren yang cukup berakar pada tradisi pesantren, tetapi sudah menempuh jalan baru. Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1986), h. xiv. Bandingkan dengan Frederick M. Denny, “Pesantren,” dalam The Encyclopedia of Islam, versi CD-ROM.
[13] Setelah menerapkan sistem pendidikan model KMI, pesantren ini membuktikan komitmennya untuk mencetak para muridnya mampu berpartisipasi dalam komunitas global, terutama di dunia Islam, sehingga lahir sejumlah tokoh keagamaan, pemerintahan dan pendidikan di Indonesia.  Frederick M. Denny, “Pesantren,” Loc.Cit.
[14]KH. Zainuddin Fananie, Pedoman Penangkis Crisis (Palembang: t.p., 1935). h. 1. Lihat juga KH. R. Z. Fananie, Pedoman Pendidikan Modern (Palembang: Penerangan Islam, 1934), h. 74.

Dialog Kebangsaan: Beda Tapi Mesra







Diskusi Buku PPM






Tasji Untuk Para Santri





Kegiatan Fananie Center (Ramadhan)